Mentari beranjak turun. Menanggalkan gurat oranye bergradasi kuning
cerah. Memang, hari ini cerah. Tapi itu tadi. Sekarang angin mulai
menggebu dan cahaya matahari tak lagi menerangi. Hanya sinar bulan yang
berpendar dalam malam.
Sam duduk di bangku taman yang langsung menghadap ke jalan raya.
Sesekali ia menghentak-hentakkan ujung sepatunya. Terlihat sedang
memperhatikan orang-orang yang kesana kemari di hadapannya. Mencari
seseorang yang memiliki cahaya berwarna dalam rimbun sang kegelapan.
Oh, lihatlah!.
Seorang remaja laki-laki memiliki kabut menyelimuti dirinya. Kabut
yang bercahaya di sekeliling tubuhnya. Lalu Sam bangkit dan
menghampirinya, “Bisakah kau menolongku?.” Tanyanya antusias.
Remaja laki-laki itu malah menatap Sam remeh kemudian kembali
berjalan dengan kedua telapak tangan terbenam dalam saku celana
miliknya.
Kedua ujung bibir Sam tetap tersenyum. Meski baginya itu pahit. Dan
itu kejadian yang sering ia alami. Sam kembali pada bangku taman yang
sedari tadi ia duduki. Duduk lesu. Kepalanya menunduk tak bersemangat.
Bahkan hampir putus asa. Dan berharap sosok cantik itu datang kembali
padanya.
“Aku tidak cantik, Sam.. aku tampan.. sangat tampan.”
Sam terkejut dan terhuyung ke samping, hampir saja jatuh. Namun ia menahan dengan lengan kanannya.
“Aish! Kau ini. Cuma bisa mengejutkanku, tidak bisa membantuku.. percuma saja.” gerutunya kesal.
Suara yang membuat Sam terkejut berasal dari asap tipis yang
membentuk siluet manusia. Dan sekarang benar-benar menjadi sosok
manusia. Dia duduk dengan kedua telapak tangan menggenggam erat bangku
taman dan meluruskan kedua kaki mungilnya.
Hening. Segelintir angin lewat tanpa permisi di antara Sam dan sosok yang Sam sebut –Manis itu.
Terasa lamban ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Akan tetapi,
pada kenyataannya sekarang pukul sebelas malam. Itu kenyataan ganjil
pertama untuk Sam. Tapi, tidak bagi sosok itu.
“Hei, kau. Manis. Sampai kapan aku harus begini? Sekarang sudah malam. Aku ingin tidur secepat mungkin.”
Sam menoleh. Sosok manis itu tidak ada. Lalu Sam bangkit, akan
beranjak dari sana. Udara terlalu rendah untuknya, yang hanya mengenakan
kaos putih dan berkemeja. Namun sosok itu kembali datang di hadapan
Sam.
Bang!.
Asap putih itu luruh dan menjadi manusia secara cepat.
“Kau! Berhenti. Mengejutkanku. Resan.” Ucap Sam penuh penekanan pada akhir kata.
Sedangkan Resan hanya bersedekap, sombong. Tapi wajahnya terlalu
manis untuk hal semacam itu. Resan membiarkan Sam melewatinya. Hanya
beberapa langkah.
Hanya beberapa langkah Sam berjalan, Resan berbalik, “Kau tidak mungkin bisa tidur.”
Sam yang membelakangi Resan, terdiam. Ia tidak akan menyangka jika ia
kembali sengsara. Ini sebuah kenyataan ganjil kedua bagi dirinya. Namun
Sam memiliki pendapat lain.
“Terserah katamu!.” Bentaknya.
“Sam..” panggil Resan pelan.
Namun Sam tak dapat mendengarnya. Angin begitu kencang malam ini. Begitu menyudutkan Sam.
“Karena dirimu memang berbeda, Sam..”
—
“Kau, yang disana.. bisa membantuku?.” Tanya Sam dengan senyum terpampang.
Sedangkan seseorang yang dipanggilnya, menatap Sam tidak percaya, berbalik pergi. Berjalan cepat. Sangat cepat. Dan dia berlari.
Sam kecewa, lagi. Tidak dapat ia pungkiri perasaan itu.
Dengan setia, Sam tetap menanti seseorang yang bercahaya dalam terang atau gelap yang berani menghadapi kemelut dalam dirinya.
Dengan setia, Sam juga menunggu di bangku taman kota. Seperti biasa. Kini itu sudah seperti kebiasaan baginya.
Tapi sampai kapan dirinya akan seperti ini terus, pikirnya.
“Kau sedang apa?.”
Sam menoleh ke kiri dengan malas lalu meluruskan kaki-kaki
panjangnya, “Tertawa..” lantas Sam diam. Membalikkan fakta yang ia
bicarakan.
Resan menatap selidik ke arah Sam.
“Sam, kau tahu kan jika waktu di dunia ini semakin menipis dan akan
bush! – hilang..” Kata Resan sambil menengadahkan kedua tangannya ke
udara lalu menepuk kedua tangannya pelan.
Sam memutar kepalanya, dengan malas, “Apa yang kau lakukan dan yang
kau bicarakan itu tak membantuku, kau tahu?.” Ia bernada sarkastik.
Resan tiba-tiba menghilang dengan cepat, meninggalkan kerlap-kerlip
abu terangnya. Dan seketika berada di depan Sam seraya melipat kedua
tangannya di depan dadanya, ia tersenyum; menyeringai.
“Dan apa yang kau tahu tentang dunia di antara surga dan neraka?.”
Lalu Resan berjalan pelan menembus kerumunan orang-orang yang berjalan
di sekitar taman kota. Telunjuk kiri Resan terangkat lurus, menunjukkan
sesuatu di ujung jalanan padat itu. “Itu, tataplah itu.. nantilah itu
dan kau selamat.”
Resan kembali masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang semakin
memadat dan menghalangi pandangan orang yang duduk sendiri, seperti Sam.
Resan hilang.
Sam menengadahkan kepalanya pelan ke arah telunjuk Resan yang tadi
dia angkat. Menunjuk sesuatu dari balik kerumunan itu. Namun sampai saat
ini, Sam belum pernah melihat petunjuk yang Resan beri tahu, begitu
juga dengan Resan yang tiba-tiba menghilang. Sangat lama. Hingga detik
ini.
Sam bosan, ia berkali-kali menoleh ke kanan dan ke kiri. Ingin sekali
dirinya segera pergi dari tempat itu; taman kota itu. Namun ia diam.
Ia terdiam. Ketika seorang laki-laki muda akan melewati dirinya dengan cahaya itu.
Sam terlalu diam. Hingga laki-laki muda itu melintasi dirinya yang telah berdiri kemudian membeku begitu saja.
“Hei,” panggilnya pelan, terlalu skeptis.
Laki-laki muda itu sempat terdiam, menyebabkan dirinya sering
bersenggol bahu oleh para pejalan kaki. Dia berbalik mata hitamnya
mencari asal suara berat itu. Laki-laki muda itu terkejut bukan main.
Dia dapat melihat seorang pria tak terlalu tua, mungkin umurnya
berselisih satu atau dua tahun. Tapi kulitnya terlalu putih – pucat.
Sam tak sadar jika ia melangkahkan kedua tungkai kakinya perlahan
mendekati sosok laki-laki muda itu dan menggenggam pergelangan tangan
kanannya, erat. Dia, laki-laki muda itu kembali tersentak ketika kulit
mereka bersentuhan.
Itu dingin – sangat, pikirnya.
Sam mengulum bibir bawahnya perlahan, ia merasa kehilangan kata-kata.
Ditatapnya manik mata laki-laki muda itu, “Apa kau bisa menolongku?.”
Suaranya lirih.
Laki-laki muda itu hanya membuka mulutnya, tanpa mengeluarkan suaranya.
“Apa kau bisa menolongku?.” Sam bertanya sekali lagi. “Karena ragaku
terperangkap dalam duniamu, aku tidak bisa kembali pada dunia-ku. Bantu
aku, kumohon.” Entah Sam terlalu percaya atau terlalu berharap, jika
cahaya yang berpendar di sekeliling laki-laki ini hangat dan berwarna
biru menuju ungu; indigo. Salah satu manusia yang ia percayai.
“Bantu, aku..”
Sam menekankan setiap katanya. Dan semakin menekan genggamannya pada
pergelangan tangan laki-laki ini. Menusuk tatapannya pada mata
tenangnya.
“Aku, butuh ragaku…”
Sosok laki-laki itu menganga, tidak percaya.
“Tolonglah, Resan Bayu..”
Kesendirian
Langganan:
Postingan (Atom)